Jumat, 22 April 2011

tesis


                                                           BAB III
ANALISIS DATA

3.1  Cara Penelitian
 Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif di mana peneliti berusaha menggambarkan secara kualitatif (uraian kalimat), serta faktor-faktor yang menjadi penghambat pelaksanaan otonomi desa ditinjau dari aspek pemerintahan desa dan pengelolaan keuangan desa. Untuk mendapatkan informasi dan data, penelitian ini menggunakan instrumen pengumpulan data melalui metode wawancara, observasi dan kuisioner.
3.1.1 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sidenreng Rappang dengan mengambil sampel 7 (tujuh) desa yang tersebar di Kecamatan Kulo, MaritengngaE, Watang Pulu dan Pitu Riawa. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan keterwakilan wilayah serta daerah asal yang menjadi tempat bekerja peneliti. Hal ini dimaksudkan untuk lebih efisien, efektif dan ekonomis.
3.1.2  Jalannya penelitian
Dalam penelitian ini yang ditempuh melalui tahapan-tahapan sebagai berikut.
1.      Tahap persiapan  
Pada tahap ini dimulai dengan pra penelitian guna mencari, mengumpulkan data awal, dilanjutkan dengan penyusunan dan pengajuan proposal usulan penelitian kepada pembimbing. Setelah melalui proses bimbingan dan usulan tersebut dapat persetujuan dari dosen pembimbing, kemudian dilakukan dengan penyusunan pedoman wawancara dan instrumen penelitian serta pengurusan ijin penelitian.
2.      Tahap pelaksanaan
Dalam tahapan ini dibagi menjadi 2 yaitu.
a.       Pelaksanaan penelitian perpustakaan, pada tahap ini dikumpulkan data sekunder yang diperoleh dan disusun secara sistimatika untuk memudahkan analisis.
b.      Pelaksanaan penelitian lapangan, pada tahap ini dikumpulkan data primer yang diperoleh dari wawancara dan pengisian kuisioner dari pada responden. Data primer dicatat dan disusun secara sistimatis untuk memudahkan analisis.
3.      Tahap penyelesaian
Pada tahap ini dilakukan evaluasi terhadap hasil penelitian dengan melakukan analisis terlebih dahulu, selanjutnya disusun dalam sebuah laporan akhir yang selalu dikonsultasikan dengan dosen pembimbing untuk perbaikan dan penyempurnaan hasil laporan.
3.1.3  Bahan penelitian
            Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa :      
                Kajian dengan kuisioner dan wawancara
Digunakan untuk memperoleh data primer yaitu melalui penyebaran  kuisioner kepada stokeholder di daerah. Sampel yang diambil adalah unsur yang terkait dengan pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang. Penentuan jumlah sampel adalah berdasarkan kebutuhan penelitian yaitu untuk mengetahui pendapat dari stokeholder di daerah. Selain itu juga diadakan wawancara singkat dengan menggunakan pedoman wawancara untuk mengumpulkan cara dan informasi kualitatif sebanyak mungkin dari nara sumber.
3.1.4  Jenis dan sumber data
1.      Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari responden yang diinginkan oleh peneliti, baik melalui wawancara dengan nara sumber,  dan pengumpulan data lapangan lainnya. Data primer yang dibutuhkan adalah tanggapan pemerintah desa dan masyarakat tentang penyelenggaraan otonomi desa selama ini.
      2.   Data Sekunder
       Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek yang diteliti yang antara lain dilakukan melalui studi literatur, kepustakaan dan arsip/laporan seperti:
a.       data-data tentang rincian kewenangan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten kepada desa dan kewenangan lainnya yang telah ada pada desa;
b.       data-data tentang keadaan umum lokasi penelitian mencakup keadaan geografis, demografis.
c.        data-data lainnya yang diperoleh dari Kantor Bappeda, BPS, kecamatan, desa dan instansi lain yang terkait.


3.1.5  Alat yang dipakai
Data yang diperoleh melalui tehknik wawancara dianalisis secara kualitatif melalui skala sikap, yaitu skala likert. Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang dan kelompok tentang kejadian atau gejala sosial (Ridwan,2003,13-16). Pengelolaan data secara kwalitatif adalah dengan mendiskripsikan kondisi yang ada dengan cara mengolah data dan menganalisisnya. Analisis yang dilakukan adalah dengan menggunakan indikator yang diperoleh dari kajian pustaka (Moleong,2000).
Metode kualitatif diperoleh dengan cara menganalisa data-data yang diperoleh melalui kuisioner. Hasil kuisioner diolah sehingga dapat ditampilkan dalam tabel-tabel frekuensi. Penyusunan tabel frekwensi dimaksudkan untuk mempermudah di dalam melihat pola distribusi dari variabel sehingga pemahaman terhadap masalah menjadi jelas (Mardalis,2004). Langkah terakhir adalah mendiskripsikan hasil analisis data sehingga pada akhirnya dapat ditarik sebuah kesimpulan. Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisis dengan menggunakan Skala Likert.
Item instrumen yang digunakan dalam skala Likert adalah.
1.         Sangat setuju, diberi skor = 5.
2.         Setuju,  diberi skor  = 4.
3.         Netral, diberi skor =  3.
4.         Tidak setuju, diberi skor = 2.
5.         Sangat tidak setuju, diberi skor  = 1.

Teknik penghitungan adalah sebagai berikut :
1.            jumlah responden yang memilih suatu item dikali skor item yang dipilih;
2.            hasil perkalian di atas, dijumlahkan;
3.            hasil penjumlahan tersebut yang menentukan posisi responden dalam  wawancara  yang  dilakukan/hasil quisioner yang dibagikan. 
3.1.6  Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian studi Kasus- Eksplanatoris di mana peneliti mencoba untuk menjelaskan penyelenggaraan pemerintahan di desa kaitannya dengan berbagai kewenangan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah kabupaten yang antara lain meliputi kewenangan dibidang pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan.
3.1.7  Populasi dan sampel
1.        Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh desa yang ada di Kabupaten Sidenreng Rappang sejumlah 67 Desa.
2.   Sampel
Mengingat luas dan besarnya cakupan populasi yang akan diteliti serta terbatasnya waktu yang tersedia, maka dilakukan pembatasan dengan mengambil 10% dari populasi yang ada didasarkan pada pertimbangan keterwakilan wilayah serta daerah asal yang menjadi tempat bekerja peneliti. Adapun desa yang diteliti yakni 7 (tujuh desa) masing-masing Desa Kulo dan Rijang Panua di Kecamatan Kulo, Desa Sereang dan Kanie untuk Kecamatan MaritengngaE, Desa Carawali dan Desa Ciro-ciroE untuk Kecamatan Watang Pulu, dan Desa Betao Riawa untuk Kecamatan Pitu Riawa. Masing-masing desa ditentukan 10 (sepuluh) orang sampel yang diambil secara purposive, purposive adalah sampel yang dipilih dengan cermat sehingga relevan dengan rancangan penelitian, dimana peneliti akan berusaha agar dalam sampel terdapat wakil-wakil segala lapisan populasi (Arsyad,1993). Melihat posisi dan pengetahuan responden terhadap objek penelitian. Para responden yang dijadikan sampel terdiri dari unsur pemerintah desa, pengurus BPD, pegawai pemerintah pada instansi terkait dan tokoh masyarakat.
Keterangan jumlah sampel 70 orang terdiri dari unsur.
1.            Kepala desa 7 orang.
2.            Perangkat desa 35 orang (Sekdes,Kaur dan Kepala Dusun).
3.            Ketua BPD 7 orang.
4.            Staf bagian pemerintahan desa 1 orang.
5.            Masyarakat desa 20 orang.
Disamping itu juga dilakukan pembatasan ruang lingkup kajian otonomi desa penyelengaraan pemerintahan desa dan pengelolaan keuangan desa.

3.1.8  Teknik pengumpulan data
1.      Angket
Guna mendapatkan keterangan dari responden yang berbeda lokasi, digunakan teknik angket atau kuesioner (daftar pertanyaan). kuesioner ini terdiri dari beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan tanggapan masyarakat dan pemerintah desa tentang pelaksanaan otonomi desa, faktor penghambat pelaksanaannya  otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang.

2.      Teknik wawancara
Wawancara merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapat informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden (aparat desa dan masyarakat). Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu membuat kerangka dan garis besar pertanyaan yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang.
3.      Teknik observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Mengingat keterbatasan waktu, peneliti hanya mengamati dan mengkaji beberapa data dan komponen yang berkaitan dengan aktifitas masyarakat dan pemerintah desa dalam rangka pelaksanaan otonomi desa. Fokus observasi diutamakan pada hal-hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan khususnya kewenangan desa, pelaksanaan pembangunan, partisipasi masyarakat dan aktivitas lembaga perwakilan desa. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memudahkan peneliti dalam menarik kesimpulan terhadap beberapa fenomena yang terjadi dalam pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang.
4.      Studi kepustakaan
Studi Kepustakaan dilakukan untuk memperkuat landasan teori yang dapat mendukung penelitian yang disarikan dari berbagai literatur atau buku-buku, artikel ilmiah maupun berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Studi Kepustakaan ini dilakukan dengan mempelajari berbagai buku, karangan ilmiah, serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi desa khususnya yang terkait dengan aspek Penyelengaraan pemerintahan desa dan pegelolaan keuangan desa.
3.1.9        Analisis data
Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif, baik terhadap data kualitatif maupun data kuantitatif. Analisis terhadap data kualitatif berupa informasi dan uraian dalam bentuk pernyataan/ pendapat dari para responden dianalisis untuk mendapatkan kejelasan tentang pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang, dan apa yang menjadi kendala pelaksanaan otonomi desa, pilihan atas jawaban yang diberikan oleh setiap responden sedapat mungkin disertai dengan alasan untuk mengetahui apakah pertimbangan yang diberikan oleh responden benar-benar mencerminkan fakta yang ada.
 Analisis terhadap data kuantitatif berupa angka-angka seperti jumlah penduduk, luas wilayah dapat diketahui apakah pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang utamanya kewenangan yang dimiliki oleh desa benar-benar berjalan dalam kontek desentralisasi. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan setelah melalui proses klasifikasi data berupa pengelompokan dan kategorisasi data yang antara lain diperoleh dari hasil angket dan wawancara. Data yang diperoleh tersebut kemudian dibobot dengan menggunakan sistem presentase untuk mengetahui nilai masing-masing variabel.
Nilai dari masing-masing variabel inilah yang kemudian dijadikan ukuran dalam menentukan tingkat keberhasilan pelaksanaan otonomi desa di masing-masing desa sampel. Disamping itu presentase jawaban responden yang telah dikelompokkan dianalisis untuk mengetahui bobot dari setiap kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi desa. Analisis ini juga digunakan untuk mengukur dan merekomendasikan beberapa format Ideal otonomi desa yang diharapkan oleh masyarakat maupun pemerintah desa. Secara umum penyelenggaraan pemerintah desa di Kabupaten Sidenreng Rappang masih diwarnai oleh dominasi pemerintah kabupaten dalam mengatur berbagai aktivitas Pemerintahan desa.
3.2      Aspek-Aspek Penting Yang Berhubungan Dengan Obyek Penelitian
Tinjauan aspek analisis yang digunakan dalam penelitian ini ada 4 komponen yang dapat ditinjau yaitu.
1.      Dasar hukum.
2.      Penyelenggaraan pemerintahan desa.
3.      Kelembagaan desa.
4.      Kewenangan desa.
Adapun variabel-variabel yang digunakankan sebagai dasar penelitian yaitu:
1.      dasar hukum ditinjau dampak terhadap otonomi desa;
2.      Penyelenggaraan Pemerintahan yaitu :
a.       pelaksanaan pemilihan kepala desa;
b.      pembentukan kelembagaan desa;
c.       pembentukan perangkat desa;
d.      struktur pemerintahan desa.
3.   Kewenangan desa :
a.       kewenangan apa saja yang diberikan pemerintah daerah;
b.      kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa.

4.   Keuangan desa : Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD).

3.3      Hasil Analisis Dan Pembahasan
3.3.1 Pemerintahan desa
Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, membawa dampak yang sangat luas terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa. Perubahan regulasi tersebut tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga menyisakan sejumlah persoalan dan pertanyaan yang membutuhkan penanganan dan kajian yang lebih mendalam. Untuk mengetahui sejauh mana penyelenggaraan pemerintah desa di Kabupaten Sidenreng Rappang, kajian akan dipusatkan pada beberapa issu sentral yang terkait dengan pemerintahan desa antara lain dasar hukum, kewenangan desa, tugas pokok, perangkat sesa, BPD, sarana dan prasarana, SDM, hubungan antara BPD dan pemerintah desa yang dideskripsikan secara singkat sebagai berikut.
3.3.2 Dasar hukum
Sejak pelaksanaan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Sidenreng Rappang diatur melalui beberapa Peraturan Daerah (PERDA) antara lain.
a.       PERDA Kabupaten Sidrap Nomor: 7 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi Pemerintah Desa, (Lembaran Daerah Nomor 10 Tahun 2001).
b.      PERDA Kabupaten Sidrap Nomor: 8 Tahun 2001 tentang Peraturan Desa (Lembaran Daerah Nomor 11 Tahun 2001).
c.       PERDA Kabupaten Sidrap Nomor: 9 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Perwakilan Desa, (Lembaran Daerah Nomor 12 Tahun 2001).
d.      PERDA Kabupaten Sidrap Nomor: 10 Tahun 2001 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa, (Lembaran Daerah Nomor 12 Tahun 2001).
e.       PERDA Kabupaten Sidrap Nomor: 11 Tahun 2001 tentang Sumber Pendapatan Desa, (Lembaran Daerah Nomor 17 Tahun 2001).
f.       PERDA Kabupaten Sidrap Nomor: 12 Tahun 2001 tentang Kerja sama antar Desa, (Lembaran Daerah Nomor 18 Tahun 2001).
g.      PERDA Kabupaten Sidrap Nomor: 13 Tahun 2001 tentang Tata Cara pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Desa, (Lembaran Daerah Nomor 19 Tahun 2001).
h.      PERDA Kabupaten Sidrap Nomor: 15 Tahun 2001 tentang Tata Cara pecalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa, (Lembaran Daerah Nomor 21 Tahun 2001).
i.        PERDA Kabupaten Sidrap Nomor: 16 Tahun 2001 tentang Tata Cara pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa, (Lembaran Daerah Nomor 22 Tahun 2001).
j.        PERDA Kabupaten Sidrap Nomor: 17 Tahun 2001 tentang Tata Cara pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, (Lembaran Daerah Nomor 23 Tahun 2001).
Penyusunan berbagai kebijakan yang terkait dengan pengaturan desa di atas, pada umumnya masih mengadopsi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah Kabupaten cenderung menjadikan kebijakan Pemerintah tersebut sebagai satu-satunya pedoman umum dalam menyusun pengaturan tentang desa, akibatnya berbagai Peraturan Daerah (PERDA) yang dilahirkan terkesan kurang mencerminkan kondisi dan kebutuhan desa yang sebenarnya. Substansi materinyapun masih sangat abstrak dan bersifat umum karena tidak menjelaskan secara rinci bentuk kewenangan  yang diserahkan kepada desa. Adanya kecenderungan pemerintah pusat tersebut sebagai pedoman umum secara tidak langsung justru hanya akan mengembalikan peran pengaturan desa kepada pemerintah pusat. Di samping itu keterlibatan unsur desa dalam penyusunan kebijakan utamanya dalam merumuskan format ideal otonomi desa dirasakan masih sangat kurang bahkan hampir tidak ada, akibatnya kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah daerah dianggap tidak aplikatif karena hanya merespon peraturan perundang-undangan yang ada. Dari hasil kuisioner menunjukkan bahwa:
Tabel 3.2
Keterlibatan Perangkat Desa Dalam Perumusan PERDA
NO
Uraian
SS
S
N
TS
STS
1.
Aparat desa dan Perangkat desa tidak pernah dilibatkan dalam perumusan PERDA
-
100%
-
-
-
               Sumber: Hasil olah data kuisioner
 Dari hasil kuisioner menyatakan bahwa tidak pernahnya melibatkan aparat desa dan perangkat desa dalam perumusan PERDA tentang desa, demikian  pula sosialisasi di desa hal inilah yang menyebabkan buramnya atau ketidak tahuan aparat desa dan perangkat desa dalam penyusunan PERDA. Dengan model perumusan kebijakan yang kurang partisipatif serta melihat persoalan desa lebih kepada perspektif negara dibandingkan dari perspektif masyarakat, menjadikan kebijakan yang ada tidak jarang justru hanya menjadi beban bagi masyarakat dan pemerintah desa misalnya PERDA tentang retribusi tambang yang cenderung diambil alih oleh pemerintah kabupaten. Kurangnya dukungan regulasi yang memungkinkan desa memiliki kemandirian dalam mengelolah pemerintahan dan sumber daya yang berbasis pada masyarakat menyebabkan penanganan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang terkesan lambat dan mengambang. Minimnya komitmen pemerintah daerah dalam mewujutkan otonomi desa tidak lepas dari cara pandang pemerintah kabupaten yang masih menempatkan diri sebagai pihak yang paling berwenang mengatur desa, sering dijadikan sebagai alasan untuk menjustifikasi tindakan pemerintah kabupaten dalam mengintervensi pengelolaan pemerintahan, pembangunan dan keuangan desa.
Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang masih terkendala pada kaburnya pengaturan hukum tentang desa. Hal ini ditandai dengan tidak jelasnya regulasi yang mengatur tentang kewenangan desa, sehingga desa tidak memiliki pegangan yang kuat dalam menjalankan berbagai kewenangan yang dimilikinya. Ketidak jelasan regulasi ini justru memberikan peluang kepada pemerintah kabupaten untuk melakukan intervensi dan mengambil alih aset dan kewenangan desa yang dianggap produktif dan menguntungkan.
Pengaturan tentang susunan organisasi pemerintahan desa di Kabupaten Sidenreng Rappang didasarkan PERDA Nomor 7 tahun 2001. Menurut peraturan ini pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Pemerintah desa dipimpin oleh seseorang kepala desa yang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPD serta menyampaikan laporan mengenai tugasnya kepada kepala daerah dengan tembusan camat.
Pemerintahan desa bertugas membina kehidupan masyarakat desa, membina perekonomian desa, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa, mendamaikan perselisihan masyarakat desa dan mengajukan rancangan peraturan desa dan menetapkan sebagai peraturan desa bersama-sama dengan BPD (pasal 4 ayat 1). Pemerintah desa dipimpin oleh seorang kepala desa yang dipilih langsung oleh penduduk desa untuk masa jabatan 10 (sepuluh) tahun atau 2 (dua) kali masa jabatan. Kepala desa berkewajiban memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa, membina kehidupan masyarakat desa, memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa, mendamaikan perselisihan masyarakat desa, mewakili desanya didalam dan diluar pengadilan, mengajukan rancangan peraturan desa dan bersama BPD menetapkan sebagai peraturan desa, menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa. Intervensi terhadap pemerintah desa ini menyebabkan peluang desa untuk menjadi suatu entitas politik yang otonom menjadi sangat terbatas.   
Di samping itu penyelenggaraan pemerintahan desa juga diwarnai oleh peran sentral kepala desa dalam mengatur dan menggerakkan masyarakat desa.
Tabel 3.3
Peran Kepala Desa
NO
Uraian
SS
S
N
TS
STS
1.
Peran kepala desa dalam mengatur dan menggerakkan masyarakat desa dalam mewujudkan peranan desa
-
51%
17%
31%
-
       Sumber: Hasil olah data kuisioner
 Hasil kuisioner menunjukkan bahwa 51% responden menyatakan setuju, 31% yang tidak setuju dan 17% netral. Dominannya peran kepala desa ini tidak lepas dari kedudukannya sebagai pemimpin pemerintahan yang sekaligus juga merangkap sebagai pemimpin adat yang identik dengan dukungan masyarakat.  Hasil  observasi lapangan, menunjukkan adanya prakteknya pelaksanaan tugas kepala desa yang lebih banyak mencerminkan peranannya sebagai pimpinan pemerintahan dibandingkan sebagai pemimpin adat yang mengayomi rakyatnya (wawancara Januari 2007). Kepala desa cenderung mengedepankan penyelesaian tugas-tugas birokrasi dan kenegaraan yang dibebankan oleh pemerintah di atasnya, sementara tugas-tugas lain yang terkait dengan pelayanan masyarakat dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dirasakan masih sangat kurang.
 Hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan para kepala desa (Januari 2007), menunjukkan bahwa kecenderungan kepala desa untuk tunduk pada kebijakan dan perintah kabupaten disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; pertama meskipun desa tidak lagi sebagai unit pemerintahan terendah di bawah camat, tetapi secara administratif desa tetap ditempatkan kedalam hierarki pemerintahan paling rendah di bawah kabupaten. Posisi ini memberi kesan bahwa pemerintah desa adalah aparat pemerintah (bawahan bupati) yang harus tunduk pada perintah atasan, sehingga posisi kepala desa dianggap sebagai alat dan perpanjangan tangan pemerintah di desa. Kedua tingginya ketergantungan pemerintah desa terhadap bantuan keuangan yang bersumber dari pemerintah kabupaten. Sebagian besar tunjangan penghasilan kepala desa dan perangkatnya termasuk dana untuk membiayai kegiatan pembangunan desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang nilainya ditentukan oleh pemerintah daerah, akibatnya desa menjadi sangat tergantung dan sulit untuk menolak tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah kabupaten, Ketiga Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan memiliki sanksi dan imbalan yang lebih jelas dan tegas bila dibandingkan dengan penyelesaian tugas-tugas kemasyarakatan dan pelayanan masyarakat. Salah satu contoh konkrit adalah pemberian penghargaan kepada para kepala desa yang berhasil merealisasikan target penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sesuai jadwal yang telah ditentukan. Di samping mendapatkan upah pungut para kepala desa dan perangkatnya tidak jarang juga mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke daerah lain dalam bentuk studi banding. Demikian pula ketika seorang kepala desa tidak mampu merealisir target PBB yang telah dibebankan kepadanya, dikenakan sanksi dalam bentuk teguran.
Adanya kejelasan sanksi baik sangsi positif dalam bentuk pemberian hadiah dan penghargaan maupun sanksi negatif dalam bentuk teguran, mendorong para kepala desa dan perangkatnya berlomba-lomba untuk mengejar target, meskipun untuk memenuhi beban tersebut tidak jarang dilakukan dengan cara yang keliru dan terkesan dipaksakan. Hasil penelusuran lapangan dan wawancara dengan perangkat desa diketahui adanya penyalahgunaan sasaran penggunaan dana gotong royong untuk kepentingan pemenuhan realisasi target Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pola ini tentu sangat menguntungkan pemerintah kabupaten sebab disamping mudah dan tepat waktu merealisasikan target, prestasi yang dicapai dapat menaikkan nama daerah. Sisi kepentingan desa pola ini tentunya sangat merugikan, sebab desa harus siap kekurangan bahkan kehilangan dana pembangunan yang menjadi tumpuan dalam membiayai kegiatan pembangunannya. Suatu kerjasama yang tidak adil di mana prestise daerah ditukar dengan kepentingan masyarakat desa.
Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya kepala desa dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari:
1.      unsur staf yaitu unsur pelayanan seperti sekretaris desa dan atau tata usaha;
2.      unsur pelaksana yaitu unsur pelaksana teknis lapangan seperti urusan pamong tani desa, urusan keamanan dan urusan lainnya sesuai kebutuhan desa;
3.      unsur pembantu kepala desa diwilayah bagian desa seperti kepala dusun.     (pasal.2 ayat.2 Perda No 7 tahun 2001).

 Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa penggunaan istilah dan komposisi perangkat desa masih mengacu pada ketentuan lama dimana rata-rata perangkat desa diisi oleh 3 (tiga) orang kepala urusan (kaur) yakni kaur pemerintahan, pembangunan dan umum ditambah kepala dusun yang jumlahnya antara 2 sampai dengan 5 orang tergantung pada luas wilayah desa yang bersangkutan. Proses rekrutmen perangkat desa belum didasarkan pada kebutuhan dan aspek kualifikasi (kecakapan), hal ini disebabkan karena minat masyarakat untuk mendaftar dan menjadi perangkat desa masih sangat kurang.
Tabel 3.4
Minat Masyarakat
NO
Uraian
SS
S
N
TS
STS
1.
2.
Minat masyarakat untuk menjadi perangkat Desa
Minat untuk menjadi perangkat Desa dengan alasan ekonomi dan sebagian Menyatakan peningkatan status sosial
-
-
44%
58%
-
46%
42%
-
-
              Sumber: Hasil olah data kuisioner
 Hasil kuisioner yang disebarkan pada responden menunjukkan bahwa minat masyarakat untuk menjadi perangkat desa 44% menyatakan setuju menjadi perangkat desa dan 46% yang menyatakan tidak setuju. Minat untuk menjadi perangkat desa 58% menyatakan setuju dengan alasan ekonomi dan 42% menyatakan tidak setuju dengan alasan peningkatan status sosial. Tingkat kebanggaan sebagai perangkat desa 67% menyatakan setuju dengan alasan dihormati dan yang 33% biasa-biasa saja dan dianggap netral. Selama ini jabatan perangkat desa masih dipandang sebagai jabatan sosial yang tidak menjanjikan keuntungan dan masa depan yang jelas. Oleh karena itu mereka cenderung mencari pekerjaan lain dari pada harus bekerja sebagai pamong desa. Kondisi inilah yang antara lain menjadi penyebab banyaknya jabatan perangkat desa yang lowong, sehingga untuk mengisi kekosongan tersebut kepala desa tidak jarang harus merekrut perangkat desanya dari unsur keluarga ataupun pihak lain yang memiliki kedekatan dengan kepala desa.
Tabel 3.5
Pengangkatan Staf Desa
NO
Uraian
SS
S
N
TS
STS
1.

kecenderungan kepala Desa merekrut keluarga sendiri dibandingkan mengangkat dari masyarakat umum
71%
-
1%
28%

-

               Sumber: Hasil olah data kuisioner
  Hasil wawancara dan kuisioner dengan kepala desa menyatakan bahwa 71% yang menyatakan sangat setuju mengangkat dari kalangan keluarga atau kerabat dekat dan 28% yang memilih tidak setuju di karenakan mempermudah peluang untuk penyalahgunaan bantuan dan 1% netral yang tidak tahu sama sekali, dikarenakan kecenderungan kepala desa merekrut keluarga sendiri dibandingkan mengangkat dari masyarakat umum sebab masyarakat umum cenderung bertani dari pada menjadi perangkat desa yang tidak menjanjikan masa depan yang lebih baik. Dalam menjalankan tugasnya para perangkat desa memperoleh penghasilan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten melalui pos belanja Publik APBD Kabupaten Sidenreng Rappang. Besarnya tunjangan dapat dilihat pada (tabel 3.6) di bawah ini;
                                                  Tabel 3.6
Daftar Tunjangan Kepala Desa Dan Perangkat Desa
Kabupaten  Sidrap Tahun 2006.
No.
                   Jabatan
Jumlah Tuntangan ( Rp )
1
                        2
3
1
Kepala Desa
200.000
2
Sekretaris Desa
150.000
3
Kepala Urusan
100.000
4
Kepala Dusun
70.000
         Sumber: Bagian Pemerintahan Desa Kabupaten Sidrap
Pemberian tunjangan tersebut dilakukan per triwulan dan tidak jarang mengalami keterlambatan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Kepala Desa Kulo "Bahwa penghasilan yang kami terima sangat tidak sebanding dengan resiko tugas yang dijalankan, itupun sering mengalami keterlambatan (wawancara, Januari 2007)". Disamping tunjangan tersebut diatas para perangkat desa juga mendapatkan penghasilan yang bersumber dari pendapatan desa yang besarnya berbeda-beda untuk setiap desa, tergantung pada kondisi dan kemampuan desa serta budi baik para kepala desa. Hasil observasi diketahui bahwa Sumber dan besarannya tunjangan yang akan diterima untuk setiap tahunnya biasanya tidak dicantumkan dengan jelas dalam APBDesa.
Minimnya tunjangan penghasilan yang diterima oleh para kepala desa dan perangkatnya tentunya tidak sebanding dengan resiko dan beban tugas yang  mereka jalankan. Kondisi ini sering dijadikan sebagai alasan pembenaran lemahnya kinerja pemerintah desa utamanya dalam hal pelayanan masyarakat. Idealnya tunjangan kepala desa setara dengan tunjangan kepala kelurahan, hal ini perlu dipertimbangkan mengingat kepala desa di samping tidak memiliki sumber pendapatan dari kas penerimaan desa yang tetap, kedua institusi pemerintahan tersebut cenderung menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum yang hampir sama. Hal ini sesuai hasil angket di mana 100% responden menyetujui jika penghasilan kepala desa disamakan dengan penghasilan kepala kelurahan yang mendapat tunjangan jabatan setara dengan eselon IV.
3.3.3 Badan perwakilan desa
Undang-Undang 22 tahun 1999 telah meletakkan landasan desentralisasi dan pelembagaan demokratisasi di desa, dengan terbentuknya Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai pengganti Lembaga Musyawarah Desa (LMD) membuka ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di tingkat desa. Sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan peraturan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan keputusan kepala desa, BPD berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.
Tabel 3.7
Hak BPD
NO
Uraian
SS
S
N
TS
STS
1.
Hak BPD untuk dapat menyatakan pendapat
-
70%
-
30%

-
               Sumber: Hasil olah data kuisioner
Hasil kuisioner diketahui bahwa 70% setuju hak BPD untuk menyatakan pendapat dan hanya 30% yang menyatakan tidak setuju dan menggunakan hak meminta keterangan kepada Pemerintah Desa. Sementara sebagai anggota setiap anggota BPD mempunyai hak-hak, menyampaikan usul dan pendapat, memilih dan dipilih serta memperoleh tunjangan. Pengaturan tentang pembentukan dan mekanisme kerja BPD di Kabupaten Sidenreng Rappang diatur dalam Perda Nomor 9 tahun 2001 tentang pembentukan BPD. Sebagai mitra dari pemerintah desa, BPD memiliki kedudukan yang sejajar dengan pemerintah desa. Meskipun dalam ketentuan yang ada disebutkan bahwa kedudukan dan hubungan BPD dengan pemerintah desa adalah mitra kerja yang sejajar, dalam prakteknya hubungan diantara keduanya berjalan dalam kontek yang tidak seimbang. Hal ini diketahui dari hasil wawancara dan pengamatan dilapangan di mana pemerintah desa dalam hal ini kepala desa lebih dominan dalam mewarnai kebijakan pemerintah desa dari pada BPD. BPD merupakan lembaga baru yang diharapkan meletakkan dan mengembangkan dasar-dasar demokrasi di desa, BPD seakan tidak mampu berbicara banyak dalam konteks pengelolaan pemerintahan dan pembangunan desa, berbagai permasalahan klasik yang pernah ada pada lembaga sebelumya (LMD) terjadi pula pada BPD, perubahan nama dari LMD menjadi BPD tidak serta merta mengangkat nilai tawar lembaga legislasi ini, utamanya dalam penentuan kebijakan pemerintah desa.
Hasil wawancara dengan pengurus BPD diketahui bahwa lemahnya kedudukan BPD dalam berhadapan dengan pemerintah desa antara lain disebabkan oleh; pertama; kedudukan keuangan yang tidak seimbang di mana pemerintah desa memiliki tunjangan penghasilan yang lebih besar dari pada pengurus dan anggota BPD (lihat tabel 3.8)
Tabel 3.8
Perbandingan Tunjangan Penghasilan Perbulan antara BPD dan Pemerintah Desa di Kabupaten Sidrap Tahun 2006
No.
Jabatan
Jumlah Tunjangan ( Rp )
1
2
3
1
Kepala Desa
200.000

Ketua BPD
30.000
2
Sekretaris Desa
150.000

Wakil Ketua BPD
25.000
3
Kepala Urusan
100.000

Kepala Dusun
70.000

Anggota BPD
20.000
                  Sumber: Bagian Pemerintahan Desa Kab.Sidrap
Di samping itu para kepala desa dan perangkatnya juga memperoleh penghasilan tambahan yang bersumber dari retribusi hasil pelayanan masyarakat sementara BPD tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pungutan atas jasa pengurusan. kedua; Pelaksanaan tugas-tugas BPD pada umumnya tidak ditunjang dengan sarana prasarana yang memadai, hal ini antara lain disebabkan karena kegiatan BPD bersifat terbatas dan temporer. Hasil pengamatan lapangan bahwa seluruh desa sampel tidak menyediakan sarana prasarana bagi BPD, Pelaksanaan tugas-tugas BPD hanya dilakukan di kantor desa. Berbeda dengan pemerintah desa yang memiliki tugas pelayanan rutin dan ruang lingkup tugas yang luas karena tidak hanya menjalankan tugas yang menjadi urusan desa, tetapi juga tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah ditingkat atas, sehingga akan sangat sulit ketika tidak dilengkapai dengan fasilitas yang memadai, utamanya dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah kabupaten seperti penagihan PBB. Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa seluruh desa sampel memiliki kantor desa dan kendaraan roda dua yang diberikan oleh pemerintah daerah sebagai inventaris desa.
Untuk lebih jelas perbandingan sarana dan prasarana kerja dari kedua institusi pemerintahan desa ini, dapat dilihat pada tabel dibawah ini;
Tabel 3.9
Perbandingan Sarana dan Prasarana Kerja BPD dan Pemerintah Desa
diKabupaten Sidrap tahun 2006
No.
Sarana & Prasarana
Pemerintah Desa
BPD
1
2
3
4
1
Kantor
Umumnya ada
Umumnya tdk ada
2
Kendaraan Operasional
Motor
Tdk Ada
3
Peralatan Kantor
Komputer dan Mesin Ketik
Umumnya Tdk ada/
jikaada hanya
mesin ketik
   Sumber: Hasil olahan data sekunder
Ketiga; Kemampuan sumber daya yang tidak seimbang utamanya dalam penguasaan tugas pokok.

Tabel 3.10
Tugas pokok BPD
NO
Uraian
SS
S
N
TS
STS
1.
BPD tidak mengetahui dan memahami tugasnya dengan baik
-
48%
12%
40%

-

               Sumber: Hasil olah data kuisioner
 Hasil kuisioner menunjukkan bahwa 48% setuju pengurus BPD tidak mengetahui dan memahami tugasnya dengan baik, 40% tidak setuju dan 12% netral. Ketidak tahuan terhadap tugas pokok menyebabkan mereka cenderung melampaui batas kewenangan yang ada. Hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa ada 2 desa sampel yang anggota BPDnya memaksakan untuk memberhentikan kepala desanya yakni Desa Rijang Panua Kecamatan Kulo dan Desa Betao Riawa Kecamatan Pitu Riawa. (wawancara Januari 2007). Hal ini disebabkan karena batasan tugas dan mekanisme kerja BPD tidak diatur secara rinci dan jelas, khususnya yang berkaitan dengan fungsi pengawasan dan pertanggung jawaban kepala desa, sehingga memberikan peluang bagi anggota dan pengurus BPD untuk menilai kinerja pemerintah desa menurut penafsiran mereka masing-masing. Kondisi tidak jarang dimanfaatkan oleh pihah-pihak yang tidak senang dengan kepemimpinan kepala desa untuk menekan dan menjatuhkan pemerintah desa yang berkuasa. Konflik antara kepala desa dan BPD juga disebabkan karena BPD lebih mengedepankan peran dan fungsi BPD sebagai pengawas pemerintah desa dibandingkan sebagai wadah untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Kurangnya pemahaman akan tugas pokok juga menjadi salah satu faktor terjadinya kesalah pahaman dalam pelaksanaan pengawasan BPD. Hasil kuisioner juga menunjukkan bahwa 24% pengurus BPD yang menyatakan setuju belum pernah mengikuti sosialisasi maupun pelatihan pengurus BPD. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah daerah Kabupaten Sidenreng Rappang perlu menetapkan regulasi yang memungkinkan penguatan peran dan fungsi BPD agar relasi antara BPD dan pemerintah desa berlangsung dalam suasana kemitraan, bukan konflik dan oposisi yang hanya menghambat penyelenggaraan pemerintahan desa dan merugikan masyarakat.


3.3.4 Kewenangan Desa
Pada umumnya pelaksanaan kewenangan desa di Kabupaten Sidenreng Rappang, berjalan dalam kontek yang tidak jelas dan mengambang ini dapat dilihat dari perolehan data quisioner pada (tabel 3.11).

 Tabel 3.11
Kewenangan Desa
NO
Uraian
SS
S
N
TS
STS
1.
Kewenangan dan batasan yang tidak jelas
80%
-
-
20%
-

                         Sumber: Hasil olah data kuisioner
   Penyebaran kuisioner 80% menyatakan sangat setuju dan 20% tidak setuju, dikarenakan batasan dan kewenangan yang tidak jelas. Sampai saat ini belum terlihat dengan jelas adanya transfer kewenangan dari pemerintah daerah kepada desa, kalaupun ada hanya sebatas kebijakan yang bersifat populis dan normatif. Hasil angket menunjukkan bahwa tidak satupun desa sampel yang pernah menerima penyerahan kewenangan dari pemerintah di tingkat atasnya. Hal ini dibenarkan oleh staf bagian Pemerintahan Desa Asrul yang mengatakan bahwa sampai saat ini pengaturan kewenangan desa masih bersifat umum dan penyerahan secara formal kepada desa. Pengaturan mengenai kewenangan desa hanya dijelaskan secara makro dan tidak dirinci menurut bidang tugas pemerintah desa (wawancara pebruari 2007). Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kewenangan desa di Kabupaten Sidenreng Rappang, berikut ini akan digambarkan beberapa kewenangan desa yang dirinci menurut UU 22 Tahun 1999.
a. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa
Kewenangan ini disebut juga sebagai kewenangan asli (kewenangan generik) yaitu seluruh kewenangan yang dimiliki oleh desa sejak keberadaan desa, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan generik ini terdiri dari; kewenangan membentuk dan mengelola sistem pemerintahan sendiri, kewenangan mengelola sumber daya lokal (tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ulayat, hutan adat). Hasil wawancara menunjukkan bahwa seluruh desa sampel tidak lagi memiliki asset desa berupa tanah bengkok apalagi hutan adat. Pada umumnya desa yang ada di Kabupaten Sidenreng Rappang tidak lagi memiliki kewenangan generik secara utuh. Hal ini disebabkan karena sebahagian besar aset-aset yang menjadi simbol Otonomi asli seperti tanah bengkok, tanah adat (ulayat), hutan desa dan Iain-lain secara berangsur-angsur dikuasai oleh pemerintah Daerah yang tersisa adalah kewenangan kering yang lebih banyak bersifat seremonial seperti sistem nilai dan tradisi. Sayangnya kewenangan yang lebih banyak bercorak adat dan tradisi ini kurang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya peningkatan derajat kesejahteraan masyarakat desa.
b.      Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan pemerintah.

Kewenangan ini tidak dijelaskan secara rinci, sehingga banyak pemerintah desa yang tidak memahami mana saja urusan yang dapat dikategorikan dalam kewenangan ini. Sebagai gantinya pemerintah daerah lebih banyak mengacu pada PP 76/ 2001 tentang Pedoman Umum mengenai Desa yang merupakan penjabaran dari UU 22/ 1999. Dalam Peraturan Pemerintah ini, disebutkan beberapa urusan yang menjadi kewenangan desa antara lain; penetapan bentuk dan susunan organisasi pemerintahan desa, Pencalonan, pemilihan, pengangkatan dan penetapan perangkat desa, pembentukan dan penetapan lembaga masyarakat, penetapan dan pembentukan BPD, pencalonan, pemilihan dan penetapan anggota BPD, penyusunan dan penetapan APBDes, penetapan peraturan desa, penetapan kerjasama antar desa, penetapan dan pembentukan BUMDES. Proses penyusunan kebijakan yang mengatur tentang  kewenangan tersebut di atas pada umumnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten, tanpa melibatkan unsur desa. Pada umumnya kewenangan tersebut di atas telah dilaksanakan oleh pemerintah desa, kecuali beberapa urusan yang mendekati peran koordinasi camat seperti penetapan kerja sama antar desa, penyelesaian konflik antar desa dan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
c.       Tugas pembantuan  dari pemerintah,   pemerintah provinsi,   dan  atau pemerintah Kabupaten.

Selama ini pelaksanaan tugas pembatuan di desa belum diatur secara jelas, pelaksanaan tugas-tugas yang diberikan oleh pemerintah di atas desa tersebut biasanya didampingi langsung oleh instansi terkait, sementara pemerintah desa cenderung hanya menerima dan tidak banyak menuntut hak atas pelaksanaan tugas tersebut.
Tabel 3.12
Tugas Pembantuan
NO
Uraian
SS
S
N
TS
STS
1.
Kepala Desa dan perangkatnya tidak mengetahui tentang tugas pembantuan
-
68%
24%
8%

-

               Sumber: Hasil olah data kuisioner
 Hasil wawancara dan kuisioner menunjukkan bahwa 68% setuju kepala desa dan perangkatnya tidak mengetahui tentang tugas pembantuan, 24% netral dan hanya 8% tidak setuju. Dalam tugas pembantuan kepala desa beserta perangkatnya banyak yang salah mempresepsikan tugas tersebut, mulai dari penugasan hingga bentuk pelaporan dan pertanggung jawabannya.
3.3.5 Keuangan Desa
Untuk menunjang pelaksanaan otonomi desa khususnya dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan dan pembiayaan program pembangunan di desa, pemerintah desa perlu ditunjang dengan ketersediaan sumber pembiayaan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat/provinsi dan kabupaten /kota, sebagian dari pajak dan retribusi daerah yang dikembalikan pada desa, pinjaman, dan Iain-lain yang merupakan penerimaan desa yang sah.
 Hasil wawancara dan penelusuran kebijakan keuangan daerah Kabupaten Sidenreng Rappang diketahui bahwa Kebijakan keuangan pemerintah kabupaten terhadap desa dilakukan dalam bentuk bantuan keuangan melalui pemberian dana pembangunan desa atau lebih dikenal dengan istilah dana gotong royong dari pengamatan wawancara dan kuisioner bahwa 100% setuju bantuan keuangan ini diberikan secara merata di setiap desa dengan tujuan pertama meningkatkan kemampuan pemerintah desa dan kelembagaan Desa, kedua meningkatkan partisipasi serta kreativitas masyarakat dalam pembangunan, ketiga meningkatkan kegiatan usaha ekonomi produktif dan penciptaan lapangan kerja, keempat menumbuhkan kembali budaya gotong royong ditengah tengah masyarakat dan kelima mendorong pemerataan pendapatan dan kesempatan berusaha masyarakat.

Tabel 3.13
Rekapitulasi Pemberian Dana Gotong Royong
Di Kabupaten Sidenreng Rappang tahun 2001-2006

TAHUN
Dana Gotong Royong (Rp)

2001
2002
2003
2004
2005
2006

9.000.000,-
10.000.000,-
20.000.000,-
20.000.000,-
Bervariasi
20.000.000
                  Sumber : DAU tahun 2006 (terlampir)
Dana gotong royong ini bersumber dari dana alokasi umum yang dalam APBD Kabupaten Sidenreng Rappang dimasukan dalam komponen belanja rutin. Meskipun sedikit penggunaan dana ini diatur menurut proporsi tertentu yang besarannya ditentukan oleh pemerintah kabupaten. Hasil wawancara menunjukkan bahwa desa sampel tidak memiliki sumber pendapatan desa yang tetap seperti hasil usaha desa, demikian pula kekayaan desa hanya 1 dari 7 desa sampel yang memiliki pasar desa. Yakni Desa Kulo itupun belum dikelola secara optimal sebab masih bersifat pasar tradisonal. Sementara untuk dana bagi hasil pajak daerah desa mendapatkan 10% dari hasil pajak, kecuali untuk jenis retribusi yang umumnya masih dikuasai oleh pemerintah kabupaten. (wawancara februari 2007)
Jika dilihat dari kontek desentralisasi fiskal transfer keuangan dari pemerintah kabupaten kepada desa harus dilaksanakan sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Pusat kepada daerah dalam bentuk dana alokasi umum (DAU). Hasil wawancara dengan kepala desa diketahui bahwa seluruh desa yang ada di Kabupeten Sidenreng Rappang belum mendapatkan dana alokasi desa. Menurut kepala bagian pemerintahan desa, keterlambatan ini disebab oleh karena PERDA yang mengatur ADD masih sementara dalam pembahasan DPRD. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah, alokasi dana pembangunan kepada desa diberikan secara seragam tanpa memperhatikan kondisi dan kebutuhan desa yang sifatnya beragam, selama ini pemberian dana bantuan desa cenderung bersifat politis sebab sangat tergantung pada kearifan bupati dan tidak diberikan menurut indikator tertentu. Hal inilah yang antara lain menyebabkan penggunaan dana-dana pembangunan desa seperti dana gotong-royong seringkali disalah gunakan atau salah sasaran.
3.3.6 Faktor penghambat otonomi desa
Pada dasamya pemerintah daerah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka penguatan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang, baik dalam bentuk regulasi desa melalui penetapan PERDA tentang desa, program pengembangan SDM melalui pelatihan bagi para aparat desa dan pengurus BPD/LKMD, maupun dalam bentuk pemberian dana bantuan (dana gotong royong). Sayangnya berbagai program yang didesain secara sentralistik tersebut belum memberikan hasil yang signifikan bagi kehadiran dan kemajuan otonomi di desa. Dalam kenyataannya Pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang masih dihadapkan pada beberapa kendala/kelemahan antara lain sebagai berikut.
1.      Batasan kewenangan yang tidak jelas.
      Pengaturan mengenai desa yang dituangkan dalam berbagai Peraturan Daerah (PERDA), cenderung hanya merujuk dan merespon peraturan perundangan yang telah ada, sehingga terkesan abstrak dan sangat kabur karena tidak mencantukan secara rinci kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa, akibatnya penyelenggaraan pemerintahan desa, utamanya kewenangan desa berjalan dalam kontek yang tidak jelas. Kondisi ini menyebabkan pemerintah desa tidak memiliki pegangan yang kuat dalam mengelola berbagai urusan baik dibidang pemerintahan, pembangunan maupun dalam mengelola berbagai potensi yang dimilikinya. Proses penyusunan perda yang tidak melibatkan unsur pemerintah dan masyarakat desa menyebabkan rumusan perda yang ada cenderung kurang responsif dan aplikatif sebab tidak mencerminkan kondisi dan kebutuhan desa yang sebenarnya. Selama ini pengaturan mengenai desa masih didasarkan pada Kepmendagri Nomor 64 tahun 1999 dan revisinya PP 76 Tahun 2001. Seharusnya pemerintah daerah melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap peraturan tentang desa yang ada dengan memperhatikan kondisi dan kebutuhan masyarakat serta kebijakan umum pengaturan tentang desa yang baru (PP 72 Tahun 2005).
2.      Minimnya sumber pembiayaan.
Pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang juga terkendala pada minimnya sumber pendanaan yang dimiliki oleh desa. Terbatasnya kemampuan pendanaan tersebut antara lain disebabkan karena Pemerintah Kabupaten Sidenreng Rappang sampai saat penelitian ini dilakukan belum menerapkan kebijakan transfer keuangan kepada desa dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD), sehingga desa tidak memiliki sumber pembiayaan pasti dalam membiayai berbagai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa, pemerintah desa masih sangat tergantung pada bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten, sementara untuk sumber pendapatan asli desa seperti hasil usaha desa dan hasil kekayaan desa (tanah kas desa, pasar desa, bangunan desa dan Iain-lain) umumnya tidak memberikan hasil yang signifikan bagi peningkatan pembangunan dan  kesejahteraan  masyarakat desa. Tidak jelasnya  sumber pembiayaan yang dimiliki oleh desa juga berdampak pada sulitnya desa dalam menyusun APBDesa.
Dalam kontek desentralisasi penyerahan kewenangan haruslah disertai dengan pendanaan oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah Kabupaten Sidenreng Rappang menerapkan kebijakan transfer keuangan kepada desa dengan mengadopsi model transfer keuangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam bentuk dana perimbangan atau Alokasi Dana Desa (ADD).  Adanya pagu anggaran yang jelas pemerintah desa dapat mengetahui secara pasti berapa besaran dana yang akan mereka terima dalam rangka membiayai berbagai urusan yang menjadai kewenangannya. Proses transfer keuangan tersebut harus memperhatikan kondisi dan kebutuhan desa yang beragam, oleh karena itu pendekatan pemerataan yang selama ini digunakan harus dipadukan dengan aspek keadilan sehingga pagu anggaran yang diterima oleh setiap desa benar-benar mencerminkan aspek proporsionalitas. Disamping itu instrumen yang digunakan dalam menentukan pagu anggaran desa termasuk mekanisme penyaluran dan pemanfaatannya harus diatur secara jelas untuk menghindari terjadinya rekayasa dan pemanfaatan dana bantuan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.

3.      Kuatnya intervensi pemerintah di atas desa.
Reformasi pemerintahan di daerah yang dilakukan melalui kebijakan otonomi daerah tidak serta merta menghapuskan pola dan kebiasaan penyelenggaraan pemerintahan di masa lalu yang cenderung dominan dalam mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat desa. Dalam kenyataannya kebijakan otonomi daerah justru berpeluang menggeser praktek sentralisasi dari pemerintah pusat kepada daerah. Kecenderungan ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; pertama Secara normatif kebijakan otonomi daerah (melalui UU 22/1999) memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan pengaturan terhadap desa. Adanya kewenangan ini mendorong pemerintah kabupaten melakukan berbagai macam bentuk intervensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa, di mana segala sesuatunya diatur menurut perspektif dan kepentingan pemerintah kabupaten. Kedua Meskipun desa tidak lagi menjadi bawahan dari pemerintah kecamatan tetapi dalam struktur pemerintahan desa tetap ditempatkan pada hierarki terendah dalam wilayah kabupaten, sehingga memberikan kesan desa adalah bawahan dari kecamatan dan kabupaten. Ketiga Kuatnya budaya mohon petunjuk, di mana masyarakat dan pemerintah desa sudah terbiasa untuk menggeser pengambilan keputusan kelevel atas. Penerimaan dan pelaksanaan kebijakan dari atas tersebut dianggap sebagai bentuk loyalitas dan pengabdian kepada pimpinan (camat dan bupati) meskipun tidak jarang keputusan yang diambil mengabaikan kondisi ada dan bertentangan dengan kepentingan masyarakat setempat. Dari sisi pemerintah kabupaten pola intervensi ini tentunya menguntungkan utamanya dalam mengendalikan berbagai program dan aktivitas masyarakat dan pemerintah desa, tetapi dari sisi pemberdayaan masyarakat sangat merugikan sebab menghalangi pengembangan kreatifitas dan kemandirian masyarakat desa. Pola ini menyebabkan masyarakat menjadi pasif dan menerima kondisi yang ada sebagai takdir yang harus mereka jalani.
4.                                                                                  4.   Belum optimalnya penyelenggaraan pemerintahan desa.
Keberhasilan pelaksanaan otonomi desa sangat dipengaruhi oleh kinerja pemerintahan desa dalam hal ini pemerintah desa dan BPD. Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Sidenreng Rappang belum berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; pertama penyelenggaraan pemerintahan desa belum ditunjang dengan pendanaan dan fasilitas yang memadai. Selama ini tunjangan penghasilan yang diterima oleh kepala desa/ perangkatnya dan BPD dirasakan masih sangat kurang jika dibandingkan dengan beban tugas dan tanggung jawab yang harus mereka jalankan. Disamping itu fasilitas penunjang yang ada juga masih sangat kurang. Masih ditemukan adanya desa yang belum memiliki ruang dan peralatan kerja yang layak, demikian pula BPD pada umumnya belum memiliki kantor. Kondisi ini sangat mempengaruhi kinerja, utamanya dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat, Kedua kurangnya pemahaman terhadap tugas pokok. Meskipun Pemerintah daerah Kabupaten Sidenreng Rappang telah melakukan serangkaian pelatihan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan aparat desa dan BPD, dalam kenyataannya hubungan antara pemerintah desa dan BPD tidak berjalan dalam relasi kemitraan melainkan diwarnai dengan pertentangan (konflik). Tidak jarang kebijakan kepala desa mendapat reaksi penolakan dari anggota BPD yang berujung pada upaya pergantian kepala desa, minimnya pemahaman terhadap tugas pokok menyebabkan BPD seringkali bertindak melampaui batas kewenangan yang dimilikinya. Ketiga Pelaksanaan tugas pemerintahan yang tidak seimbang, selama ini pemerintah desa lebih banyak menjalankan tugas-tugas yang dibebankan oleh pemerintah ditingkat atasnya, sementara tugas-tugas dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat cenderung kurang diperhatikan. Akibatnya pemerintah desa lebih terkesan sebagai alat perpanjangan tangan pemerintah daripada sebagai institusi pelayanan yang mengabdi kepada kepentingan masyarakat. Keempat Belum optimalnya penyelenggaraan pemerintahan desa juga disebabkan karena PERDA yang belum mengatur secara jelas batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh desa sehingga desa tidak memiliki pegangan yang kuat dalam menjalankan kewenangannya.
5.   Adanya persepsi yang keliru dalam menyikapi makna otonomi asli.
Selama ini pelaksanaan kewenangan desa terjebak dalam perspektif otonomi asli, di mana desa dipandang sebagai kesatuan masyarakat adat yang memiliki kewenangan asli yang bersifat tradisional. Pemahaman ini membuat pemerintah daerah seakan-akan tidak merasa berkewajiban untuk membagi dan menyerahkan sebahagian kewenangan dan keuangannya kepada desa. Padahal dalam kontek desentralisasi otonomi desa haruslah dipandang sebagai local-self govenment atau otonomi desa seperti halnya otonomi daerah yang dimiliki oleh provinsi/kabupaten dan bukan sekedar status otonomi asli yang sudah lama dimiliki oleh desa sebagai self-governing community. Disamping itu otonomi desa juga dipandang sebagai suatu bentuk kemandirian yang ditandai dengan kemampuan untuk membiayai urusan pemerintahan dan pembangunannya dengan bertumpu pada pendapatan asli desa, swadaya dan gotong royong masyarakat, padahal kemandirian bukan berarti kesendirian. Desa dianggap gagal berotonomi ketika bantuan dari pemerintah lebih besar dari sumber pendanaan yang disiapkan oleh desa. Pemikiran ini menggiring masyarakat dan pemerintah desa untuk meyakini bahwa pembangunan desa hanya dapat dicapai dengan meningkatkan swadaya dan partisipasi masyarakat, sementara bantuan pemerintah bukanlah komponen utama pembangunan desa, melainkan hanya stimulan. Pandangan ini tentu merupakan jebakan eksploitatif dengan menjadikan swadaya dan gotong royong sebagai alasan untuk menghindari tanggung jawab pemerintah daerah membagi sumber pendanaanya kepada desa. Beberapa kendala tersebut diatas menunjukkan bahwa pemerintah daerah terkesan belum siap dan kurang serius dalam menangani tuntutan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang, Peluang demokratisasi dan desentralisasi yang terkandung dalam semangat otonomi daerah belum sepenuhnya dimanfaatkan dengan baik dalam rangka memenuhi harapan masyarakat akan perwujudan otonomi desa yang rill dan utuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar