BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berangkat dari data dan analisa tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang khususnya jika dilihat dari aspek penyelenggaraan pemerintah desa dan pengelolaan keuangan desa belum berjalan secara optimal. Kondisi ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor penghambat antara lain :
1. Tidak jelasnya batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh desa, di mana PERDA desa yang ada cenderung hanya merujuk dan merespon peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan tidak dibuat menurut kondisi dan kebutuhan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan desa dan pengelolaan keuangan desa berjalan dalam kontek yang tidak jelas.
2. Masih kuatnya intervensi pemerintah di atas desa utamanya dari pemerintah kabupaten sehingga pelaksanaan otonomi daerah terkesan justru hanya menggeser sentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten. Dominannya intervensi pemerintah kabupaten terhadap desa, tidak lepas dari posisi desa yang masih ditempatkan pada hierarki pemerintahan terendah dibawah kabupaten, sehingga desa lebih dikenal sebagai bawahan bupati dari pada berdiri sebagai unit pemerintahan yang otonom. Kondisi mi menyebabkan ketergantungan pemerintah desa terhadap kabupaten semakin besar utamnya dari sisi pendanaan. Format penyelenggaraan pemerintahan desa cenderung dibuat menurut perspektif pemerintah sehingga hampir tidak ada ruang bagi masyarakat dan pemerintah desa untuk mengelola potensi dan mengembangkan kreativitasnya secara mandiri, hal ini tercermin dari banyaknya kegiatan pemerintah desa yang diwarnai oleh pemerintah kabupaten seperti penentuan mekanisme pemilihan kepala desa dan rekrutmen perangkat desa, pembentukan kelembagaan desa, pengeloiaan pembangunan, pengelolaan keuangan desa dan lain sebagainya. Kuatnya intervensi pemerintah diatas desa juga disebabkan karena masih suburnya budaya mohon petunjuk dikalangan pemerintah desa. Di mana pemerintah desa cenderung untuk menggeser pengambilan keputusan pada level pemerintahan di atas desa meskipun yang terkait dengan format masa depan desa.
3. Belum optimalnya penyelenggaraan pemerintahan desa yang disebabkan oleh terbatasnya pendanaan dan fasilitas yang dimiliki oleh desa dan BPD, kurangnya pemahaman terhadap tugas pokok sehingga berpotensi menimbulkan gesekan kepentingan antara pemerintah desa dalam hal ini kepala desa dan BPD, ketidak seimbangan dalam pelaksanaan tugas pemerintah desa di mana pemerintah desa cenderung lebih mendahulukan penyelesaian tugas-tugas dari pemerintah di atasnya dibandingkan menjalankan tugas yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Kurang optimalnya penyelenggaraan pemerintahan desa juga disebabkan karena tidak jelasnya batas-batas kewenangan yang dimiliki oleh desa sebagai dampak dari lemahnya PERDA desa yang ada.
4. Selama ini desa terjebak dalam makna otonomi asli dimana desa lebih banyak dipandang sebagai self-governing community yang memiliki otonomi asli, dibandingkan sebagai local-self government yang memiliki kewenangan dan pembagian keuangan seperti halnya yang diterima oleh provinsi dan kabupaten dari pemerintah pusat. Akibatnya desa dibiarkan sendiri dengan kekuatan swadaya dan gotong-royong untuk membiayai berbagai kegiatan pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya. Pemahaman ini mendorong kabupaten tidak merasa berkewajiban untuk membiayai penyelenggaraan otonomi desa. Desa dianggap gagal ketika dana pembangunan desa yang bersumber dari bantuan pemerintah kabupaten lebih banyak dibanding swadaya masyarakat.
5. Minimnya sumber pendanaan yang dimiliki oleh desa di mana sampai saat penelitian ini dilakukan pemerintah daerah, Kabupaten Sidenreng Rappang belum menerapkan kebijakan transfer keuangan kepada desa dalam bentuk alokasi dana desa. Desa kesulitan dalam menyusun APBDes dan tidak mampu membiayai berbagai urusan yang menjadi kewenangannya baik dibidang pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan kemasyarakatan.
4. 2 S a r a n
Upaya untuk mewujudkan otonomi desa bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan adanya kesiapan dan komitmen yang kuat dari semua pihak utamanya pemerintah daerah agar penanganan otonomi desa tidak hanya terhenti pada level diskusi dan retorika politik. Sehubungan dengan hal tersebut, maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut.
1. Pemerintah daerah hendaknya melakukan revisi terhadap kebijakan dan regulasi yang mengatur tentang desa (PERDA), dengan menetapkan bentuk kewenangan desa secara rinci dan jelas. Proses penggalian ide dalam rangka penyusunan PERDA tersebut, sedapat mungkin dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan unsur desa. Pelibatan disini tidak hanya dari unsur pemerintah desa saja, melainkan juga harus melibatkan komponen yang ada dalam masyarakat. Format PERDA yang dihasilkan tidak hanya lahir dari proses yang diprakarsai oleh pihak pemerintah, tetapi dibentuk dan dibangun bersama dengan masyarakat. Disamping itu sosialiasi terhadap kebijakan dan peraturan daerah yang berhubungan dengan desa dapat lebih diintensifkan sebagai media untuk menyatukan persepsi dan tindakan.
2. Diperlukan adanya pembagian kewenangan yang nyata dan proporsional kepada desa. Dalam hal ini desa tidak hanya diakui sebagai self-governing community yang memiliki otonomi asli, tetapi juga harus dipandang sebagai local self government yang memiliki kewenangan sesuai dengan prinsip Desentralisasi. Pemberian kewenangan tersebut termasuk kewenangan untuk menjalankan berbagai urusan internal desa yang mampu dilaksanakan oleh desa. Antara lain perencanaan dan pengelolaan pembangunan desa, pembentukan kelembagaan desa, penentuan mekanisme pemilihan kepala desa dan rekrutmen perangkat desa, serta penyelenggaraan administrasi kependudukan dalam rangka lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.
Pemerintah daerah hendaknya menerapkan kebijakan transfer keuangan kepada desa dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD), dan bukan dalam bentuk bantuan keuangan yang sarat dengan kepentingan politik. Desa dapat mengetahui secara pasti berapa besaran dana indikatif yang akan mereka terima dalam rangka membiayai berbagai urusan yang menjadai kewenangannya baik dalam bidang pemerintahan maupun pelaksanaan pembangunan desa. Adanya pagu anggaran yang jelas dapat membantu desa dalam menyusun APBDes yang selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah desa maupun pemerintah daerah. Proses transfer keuangan tersebut harus dilakukan secara proporsional dengan memadukan pendekatan pemerataan dan keadilan dan ditunjang dengan instrumen yang jelas dalam menentukan besaran pagu anggaran termasuk mekanisme penyalurannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya rekayasa dan pemanfaatan dana bantuan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar