BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengertian umum tentang desa
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk. Sebagai suatu institusi pemerintahan yang otonom, desa memiliki kewenangan yang bersifat asli karena bersumber dari asal-usul dan adat istiadat setempat (Wijaya 2004). Kata "Desa" itu sendiri berasal dari Bahasa India yakni "Swadesi" yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas (Sadu,2006).
Sementara menurut Maschab (1992) desa secara sosiologis umumnya diidentifikasikan sebagai sebuah gambaran dari suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan di mana mereka saling mengenal dengan baik dan corak kehidupan relatif homogen serta banyak bergantung dengan alam.
Bintarto (1983), yang memandang desa dari segi geografi mendefinisikan desa sebagai berikut "Suatu hasil dari perwujudan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu ialah suatu wujud atau penampakan dimuka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial ekonomis, politis dan kultural yang saling berinteraksi antara unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah lain ". Lebih lanjut menurut Bintarto (1983:13) unsur yang harus ada dalam suatu desa adalah : pertama daerah luas dan batas yang merupakan lingkungan geografis desa setempat, kedua penduduk yang meliputi jumlah, kepadatan, penyebaran, dan mata pencaharian penduduk setempat, ketiga tata kehidupan yaitu pola dan ikatan pergaulan warga desa (rural society). Ketiga unsur tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya.
Pengertian desa juga dikemukakan oleh (Bouman dalam Beratha,1982:26) yang mendefinisikan Desa "Sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal, kebanyakan yang termasuk didalamnya hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah sosial"
Secara yuridis formal keberadaan desa diakui dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto PP No.72 Tahun 2005 tentang desa yang memberikan pengertian sebagai berikut ”Desa adalah suatu masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia’’.
2.1.2 Pemerintahan desa
Menurut pasal 11 PP.72 Tahun 2005 tentang Desa, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD. Pemerintah desa dipimpin oleh kepala desa yang bertugas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugas tersebut Kepala Desa berwenang
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD;
b. mengajukan rancangan Peraturan Desa;
c. menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APBD Desa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD;
e. membina Kehidupan masyarakat desa;
f. membina perekonomian desa;
g. mengkoordinasikan pembangunan desa secara partisipatif;
h. mewakili desanya didalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
i. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugasnya kepala desa dibantu oleh perangkat desa yang terdiri dari; sekretaris desa, pelaksana teknis lapangan, dan unsur kewilayahan. Kepala desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada bupati melalui camat. Kepada BPD kepala desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawaban dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya. Namun tetap memberikan peluang kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakan atau meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan pertanggung jawaban tersebut.
Dalam rangka memperkuat kehidupan demokrasi di desa, dibentuk BPD yang berkedudukan sebagai mitra pemerintah desa dalam menjalankan pemerintah desa. BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama dengan kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dalam menjalankan fungsi tersebut BPD mempuyai hak dan kewenangan untuk meminta keterangan kepada pemerintah desa, membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa dan lain sebagainya.
Disamping itu didesa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang bertugas membantu pemerintahan desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga masyarakat di desa berfungsi sebagai wadah partisipasi dalam pengelolaan pembangunan agar terwujud demokratisasi dan transparansi pembangunan pada tingkat masyarakat serta untuk mendorong, memotifasi, menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam pembangunan.
2.1.3 Keuangan desa
Dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa dan untuk peningkaan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat desa harus ditunjang dengan sumber pendanaan yang memadai. Menurut pasal 212 Undang-Undang 32 tahun 2004 Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Adapun sumber pendapatan desa terdiri dari:
a. pendapatan asli desa meliputi; hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;
b. bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten;
c. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten;
d. bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten bantuan ini bersumber dari APBN, APBD provinsi, APBD kabupaten yang disalurkan melalui kas desa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa;
e. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga dalam hal ini dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf atau lain-lain.
Sumber pendapatan yang berasal dari bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah diberikan kepada desa paling sedikit 10% diluar upah pungut, dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten diberikan kepada desa paling sedikit 10% sedangkan bantuan provinsi kepada desa diberikan sesuai dengan kemampuan dan perkembangan keuangan provinsi yang bersangkutan. Bantuan tersebut lebih diarahkan untuk percepatan pembangunan desa.
Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), pengelolaan pasar desa, pengelolaan kawasan wisata skala desa, pengelolaan galian C dengan tidak menggunakan alat berat. Pengeloaan keuangan desa dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan dalam peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa.
2.1.4 Kewenangan desa
Pelaksanaan otonomi daerah telah memberikan harapan baru bagi munculnya desa sebagai entitas politik yang mandiri. Sejalan dengan hal tersebut, maka pemberian kewenangan kepada desa menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Menurut UU 22/1999 Kewenangan desa mencakup.
1. Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.
2. Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah.
Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten. Untuk lebih jelasnya kewenangan desa dapat diuraikan menurut bidangnya sebagai berikut
2.1.4.1 Kewenangan pemerintah desa di bidang pemerintahan
kewenangan pemerintah desa khususnya di bidang pemerintahan dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. kewenangan pemerintah desa dalam menetapkan Peraturan Desa (bersama dengan BPD);
2. kewenangan pemerintah desa dalam menjalankan berbagai peraturan ataupun kebijakan yang telah ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa (BPD);
3. kewenangan pemerintah desa dalam menjalankan administrasi pemerintahan desa yang meliputi : administrasi umum, administrasi pelayanan, serta administrasi kependudukan dan administrasi desa;
4. kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat;
5. kewenangan mengadakan kerjasama antar desa;
6. kewenangan tugas pembantuan yang dibebankan oleh pemerintah pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten;
7. kewenangan untuk memilih dan menentukan susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa;
8. kewenangan untuk menentukan kepala desa dan perangkat desa;
9. kewenangan untuk membentuk kelembagaan desa;
10. kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan dan kekayaan desa sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.1.4.2 Kewenangan pemerintah desa dalam bidang pembangunan
Bidang pembangunan, kewenangan pemerintah desa tidak dijelaskan secara tegas, namun dalam kerangka pembangunan nasional dan pemberdayaan, pemerintah desa berperan sebagai ujung tombak bagi keberhasilan tujuan pembangunan nasional. Dalam kontek ini, pemerintah desa memiliki kewenangan:
1. menggali berbagai potensi yang dimiliki oleh pemerintah Desa untuk tujuantujuan pembangunan;
2. menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam pembangunan;
3. mewujudkan kehidupan demokrasi ditingkat desa;
4. mengembangkan potensi masyarakat untuk mewujudkan kemandirian masyarakat (pemberdayaan masyarakat desa).
Untuk melaksanakan kewenangan tersebut pemerintah desa dibantu oleh lembaga desa sebagai mitra kerja pemerintah desa. Kelembagaan desa tersebut membantu dalam bidang; Pertama, pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat yang diemban oleh lembaga adat (Pasal 43 - 44 Kepmendagri Nomor 64 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum pengaturan mengenai Desa). Kedua, lembaga kemasyarakatan yang membantu tugas-tugas pembangunan pemerintah desa yang meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembanggunan (Pasal 45 - 47 Kepmendagri Nomor 64 Tahun 1999).
2.1.4.3 Kewenangan pemerintah desa dalam bidang kemasyarakatan
Kewenangan pemerintah desa di bidang kemasyarakatan, memiliki proporsi yang cukup besar. Hal ini terkait dengan sifat pemerintah desa yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat, baik secara sosial, maupun kultural. Kewenangan pemerintah desa di bidang kemasyarakatan dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. pembinaan kemasyarakatan yang meliputi keamanan, ketertiban dan kesejahteraan sosial;
2. pembinaan gotong - royong masyarakat;
3. pembinaan kelembagaan baik lembaga masyarakat maupun lembaga adat;
4. pembinaan kemasyarakatan dalam arti luas baik yang menyangkut aspek keduniawian, misalnya tersedianya pangan, sandang maupun papan bagi masyarakat dan aspek kerohanian yang meliputi rasa aman, keagamaan;
5. pembinaan dan pelestarian adat/istiadat yang berkembang dalam masyarakat, yang pelaksanaannya menjadi tugas dari lembaga adat.
Disamping kewenangan tersebut di atas desa juga mempunyai kewenangan dalam mengatur masyarakat sesuai kebutuhan masyarakat yang ada, termasuk kewenangan dalam melakukan kerjasama desa.
2.2 Landasan teori
2.2.1 Otonomi desa
Salah satu tuntutan reformasi dibidang pemerintahan adalah terwujudnya pembaharuan desa sebagai entitas masyarakat hukum yang mandiri dan otonom. Sejalan dengan harapan tersebut, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang juga mengatur tentang desa sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat desentralisasi.
Menurut UU 22 / 1999, Desa adalah " Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten". Rumusan tersebut di atas, menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 22 / 1999, tidak hanya menempatkan posisi desa sebagai self-governing community (otonomi asli), tetapi juga sebagai local-self government. Sebagai self-governing community desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengatur pemerintahannya sendiri berdasarkan kewenangan asli yang telah dimilikinya sejak desa tersebut terbentuk. Sementara sebagai local-self government, desa tidak hanya sekedar diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki otonomi asli, tetapi membutuhkan adanya pembagian kewenangan secara nyata dan proporsional dari pemerintah di atasnya, sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh provinsi dan kabupaten. Hakekat otonomi desa tentunya bukan hanya sekedar pengakuan terhadap eksistensi desa sebagai suatu komunitas adat yang otonom, tetapi yang lebih penting adalah adanya pembagian kewenangan dan keuangan yang jelas kepada desa, serta kebebasan untuk mengelola berbagai sumber daya yang dimilikinya dan menentukan masa depan pembangunannya menurut prakarsa sendiri.
Meski memberikan pengakuan terhadap keragaman dan keunikan desa sebagai Self-Governing Community UU No. 22/1999 tetap memiliki sejumlah keterbatasan, terutama kalau dilihat dari sisi desentralisasi. Sebab ada kecenderungan pemerintah hendak menyerahkan sepenuhnya persoalan desa kepada kabupaten kota. Kehendak inilah yang membuat rumusan UU No.22/1999 dianggap tidak memberikan ruang bagi desentralisasi kewenangan dan keuangan untuk mendukung otonomi desa, serta kurang jaminan legal partisipasi masyarakat dan komitmen pada pembaruan desa.
Pada tahun 2004 pemerintah dan DPR mengesahkan UU No.32/2004 dalam tempo yang sangat singkat. Sayangnya Undang-Undang yang diharapkan dapat meletakkan landasan yang kuat bagi perwujudan desentralisasi dan demokratisasi di tingkat desa ini justru cenderung menjauh dari UU No.22/1999 yang bersifat devolutif-liberal, sebaliknya semakin mendekat pada UU No. 5/1974 yang bersifat sentralisasi otokratis-korporatis. Secara substansial UU No. 32/2004 tidak mengenal adanya otonomi desa, melainkan hanya mengenal otonomi daerah. Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 disebutkan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah". Hal ini berarti negara hanya dibagi menjadi daerah yang kemudian daerah ditetapkan menjadi daerah otonom (local self government).
Dalam prakteknya negara hanya mengakui keberadaan desa sebagai bagian dari pemerintah kabupaten tetapi tidak membagi kekuasaan dan kewenangan (desentralisasi) kepada desa, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 200 ayat (1) bahwa dalam pemerintahan daerah kabupaten/ kota dibentuk pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa. Penggunaan istilah "dibentuk" menegaskan bahwa pemerintah desa merupakan sub-sistem atau bagian dari pemerintah kabupaten/kota yang menjalankan sebagian kewenangan yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten. UU 32/2004 tidak memperkuat desentralisasi dan demokrasi lokal, justru sebaliknya hendak melakukan resentralisasi, neokorporatisme dan rebirokratisasi daerah terhadap desa (Sutoro Eko).
Otonomi desa haruslah dipahami sebagai kewenangan desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sesuai kondisi dan sosial budaya masyarakat setempat. Pemahaman seperti ini, maka posisi desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah, karena dengan otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan otonomi daerah.
2.2.2 Visi dan misi penyelenggaraan otonomi desa
Pada dasarya inti pelaksanaan otonomi desa adalah terdapatnya keleluasaan pemerintah desa untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan desanya sesuai dengan asal-usul dan adat istiadat masyarakat setempat. Oleh karenanya visi yang dikembangkan pemerintah adalah terwujudnya otonomi desa yang kuat untuk mendukung otonomi daerah. Visi dalam penyelenggaraan otonomi desa adalah " Desa Otonom 2020 ", dengan misi.
1. Mewujudkan kemandirian pemerintah desa.
2. Mewujudkan kemandirian Badan Perwakilan Desa (BPD).
3. Memantapkan sumber pendapatan, kekayaan dan keuangan desa.
4. Meningkatkan peran aktif lembaga adat dan kemasyarakatan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, dan.
5. Mewujudkan demokratisasi, partisipasi, akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dengan berlandaskan pada nilai-nilai sosial budaya yang berlaku pada masyarakat setempat.
Guna mendukung pelaksanaan otonomi desa sebagai sus sistem dalam penyelenggaraan otonomi daerah, maka perwujudan visi dan misi tersebut difokuskan kepada :
1. upaya percepatan penyelesaian peraturan daerah dan keputusan kepala daerah mengenai pengaturan desa;
2. penataan organisasi pemerintah desa, badan perwakilan desa, lembaga adat dan lembaga kemasyarakatan, penataan badan usaha milik desa dan pengembangan asosiasi pemerintahan desa sebagai bagian integral dari pengembangan kelembagaan di desa;
3. pengembangan SDM, dengan titik berat pada peningkatan kemampuan dan keterampilan kepala desa, perangkat desa, pengurus badan perwakilan desa, lembaga adat dan lembaga kemasyarakatan serta pengurus Badan Usaha Milik Desa (BUMDes);
4. manjemen keuangan desa, dengan titik berat pada pengembangan sumber pendapatan, kekayaan dan keuangan desa;
5. sistem perencanaan dengan titik berat pada pengembangan sistem monitoring dan evaluasi otonomi desa serta pengembangan perencanaan partisipatif yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat, dan;
6. mendukung pemberdayaan masyarakat.
2.2.3 Tuiuan penyelenggaraan otonomi desa
Penguatan otonomi desa memerlukan perhatian yang seimbang dengan pelaksanaan otonomi daerah, oleh karena penguatan otonomi desa merupakan salah satu upaya strategis pemerintah untuk mensinergikan kapasitas kinerja pemerintah daerah dan pemerintah desa guna mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan otonomi asli di desa.
Tuiuan penguatan otonomi desa adalah.
1. Memperkuat kapasitas Pemerintah desa dan pengurus badan perwakilan desa untuk menyelenggarakan pemerintahan desa secara demokratis, partisipatif dan transparan berdasarkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat.
2. Memperkuat pemerintah desa dalam mengelola keuangan desa secara efisien, efektif, transparan dan akuntabel.
3. Memperkuat lembaga adat, lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintah desa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memecahkan permasalahan yang dihadapi.
4. Sasaran penyelenggaraan otonomi desa.
2.2.4 Sasaran penyelenggaraan otonomi desa
Dalam rangka pencapaian tujuan penyelenggaraan otonomi desa, maka ditetapkan beberapa sasaran pokok penguatan otonomi desa, yaitu :
1. terbangunnya pemerintah desa dan badan perwakilan desa yang mampu melaksanakan pelayanan umum kepada masyarakat;
2. meningkatkan kapasitas pemerintahan desa dalam pengelolaan keuangan sehingga dapat membiayai sendiri urusan yang menjadi kewenangannya;
3. meningkatkan kemitraan pemerintah desa, BPD, lembaga adat, lembaga kemasyarakatan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa;
4. menguatkan kegotong royongan, keswadayaan, solidaritas dan persaudaraan masyarakat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2.2.5 Program penguatan otonomi desa
Berkenaan dengan beberapa hal tersebut di atas, maka diprogramkan penguatan otonomi desa, sebagi berikut:
1. pengembangan dan pemantapan pemerintah desa;
2. pengembangan dan pemantapan Badan Perwakilan Desa;
3. peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Aparatur Pemerintahan Desa;
4. pengembangan sumber pendapatan dan kekayaan Desa;
5. penataan Badan Usaha Milik Desa;
6. penataan Pinjaman Desa dan Sumbangan Pihak Ketiga, Pengembangan dan Pelestarian Lembaga Adat;
7. penataan Kelembagaan Masyarakat.
2.2.6 Kegiatan-kegiatan penguatan otonomi desa
Langkah-langkah yang perlu diambil untuk membantu upaya-upaya percepatan penguatan otonomi desa, antara lain meliputi kegiatan-kegiatan :
1. percepatan pembentukan badan perwakilan desa;
2. percepatan penetapan organisasi pemerintahan desa;
3. peningkatan kapasitas pemerintahan desa;
4. pengkajian kebutuhan sarana dan prasarana pemerintahan desa;
5. penyusunan pedoman kerja kepala desa;
6. penyusunan pedoman kerja badan perwakilan desa;
7. penyusunan pedoman umum pembentukan dan pengelolaan badan usaha milik desa;
8. sosialisasi tentang otonomi desa;
9. pengkajian keanekaragaman bentuk desa;
10. pengembangan dan pelestarian lembaga adat;
11. pembentukan asosiasi pemerintahan desa.
2.3 Alat Analisis
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode deskriptif-kualitatif di mana peneliti mencoba untuk menggambarkan dan menjelaskan faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang dengan menggunakan uraian kalimat yang diolah dari hasil wawancara dan observasi lapangan. Sebelum dilakukan analisis seluruh data dan informasi yang diperoleh terlebih dahulu dikategorisasi dan dikelompokkan menurut jenis dan substansinya sehingga memudahkan peneliti menganalisis dan mengambil kesimpulan dari data dan fenomena yang ada.
Di samping itu untuk mengetahui tanggapan dan pendapat masyarakat serta pemerintah desa sendiri terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan desa dan pengelolaan keuangan desa, maka dilakukan pengukuran sikap dengan menggunakan skala likert melalui penyampaian quesioner kepada responden yang dianggap memahami objek penelitian.
Item instrumen yang digunakan dalam skala likert adalah:
1. sangat setuju, diberi skor = 5;
2. setuju, diberi skor = 4;
3. netral, diberi skor = 3;
4. tidak setuju, diberi skor = 2;
5. sangat tidak setuju, diberi skor = 1.
Teknik penghitungan adalah sebagai berikut :
1. jumlah responden yang memilih suatu item dikali skor item yang dipilih;
2. hasil perkalian di atas, dijumlahkan;
3. hasil penjumlahan tersebut yang menentukan posisi responden dalam wawancara yang dilakukan/hasil quisioner yang dibagikan.
Untuk mengetahui hambatan apa saja yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan tanggapan responden terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, maka disusun pedoman wawancara dan quesioner dengan menanyakan hal-hal yang terkait dengan :
1. dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Sidenreng Rappang;
2. jenis- jenis kewenangan yang dijalankan oleh pemerintah desa;
3. pemahaman terhadap tugas pokok aparat desa dan BPD;
4. pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa);
5. peran pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa;
6. ketersediaan sarana dan prasarana penunjang;
7. jumlah dan tingkat pendidikan perangkat desa dan pengurus BPD;
8. upaya peningkatan SDM aparat desa/pengurus desa;
9. hubungan antara pemerintah desa dan BPD;
10. partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pemerintah desa;
11. kelembagaan desa.
Untuk memperoleh informasi dan data tentang pengelolaan keuangan desa, maka disiapkan beberapa pertanyaan yang terkait dengan :
1. alokasi dana desa;
2. pendapatan asli desa;
3. bagi hasil pajak dan retribusi daerah;
4. bantuan keuangan dari pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat;
5. APBDes;
6. tunjangan penghasilan kepala desa, perangkat desa dan BPD;
7. pertanggung jawaban keuangan desa.
Pembatasan ruang lingkup pertanyaan dilakukan untuk lebih mengarahkan peneliti dan responden agar tidak keluar dari sub stansi materi yang akan dikaji. Mengingat terbatasnya waktu dan alat analisis yang digunakan tentunya akan mempengaruhi data dan informasi. Oleh karena itu untuk menutupi kekurangan yang ada, dalam penelitian ini juga digunakan studi kepustakaan utamanya yang terkait dengan pendapat para ahli dan hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan otonomi desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar