Jumat, 22 April 2011

tesis


BAB I
PENGANTAR

                                                   1.1 Latar Belakang

Perubahan 2 paket kebijakan otonomi daerah, masing-masing Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 menjadi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan salah satu langkah konkrit dan strategis yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka pengaturan dan penyempurnaan sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Di samping mengatur kewenangan dan keuangan daerah, Undang-Undang otonomi tersebut di atas juga mempertegas posisi desa sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat desa setempat (Wijaya,2004).
Adanya pengaturan khusus mengenai desa dalam Undang-Undang otonomi daerah menunjukkan bahwa keberadaan desa tidak dapat dipisahkan dari sistem penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu sudah seharusnya  penyelenggaraan otonomi desa mendapat perhatian yang seimbang dan serius utamanya dalam era otonomi sekarang ini (Eko,2004c). Sayangnya sejak otonomi daerah dilaksanakan secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2001 sampai sekarang perhatian terhadap pelaksanaan otonomi desa dirasakan masih sangat kurang jika dibandingkan dengan issu otonomi daerah yang dititikberatkan di kabupaten. Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah seakan menjadi alasan dalam melegitimasi berbagai tindakan pemerintah daerah yang dominan dalam mengatur hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat desa, Sentralisasi kekuasaan justru bergeser di tingkat pemerintah kabupaten. Meskipun otonomi daerah secara bertahap membawa perubahan dan kemajuan yang cukup berarti di tingkat kabupaten, tidak serta merta terjadi pula di tingkat desa (IRE,2003).
Otonomi desa yang dicirikan dengan adanya kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan rumah tangga desa seakan  tak pernah ada, kalaupun ada hanya terbatas pada kegiatan seremonial yang memang sudah menjadi tradisi desa seperti pesta-pesta adat, perkawinan pemilihan kepala desa. Kuatnya pengaruh/intervensi pemerintah di atas desa dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang seragam, kaku dan mengikat masih mewarnai penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa. Di samping itu belum optimalnya peran dan fungsi kelembagaan desa khusunya badan perwakilan desa dan lembaga kemasyarakatan masyarakat desa serta terbatasnya faktor-faktor penunjang yang dimiliki oleh desa seperti; Sarana dan prasarana pelayanan umum, aset/keuangan desa dan sumber daya manusia aparat, semakin membuat posisi desa sangat lemah dan tergantung pada pemerintah dilevel atasnya (Eko,2004d).
  Kompleksitas permasalahan tersebut di  atas merupakan fenomena umum yang terjadi di hampir sebagian besar pemerintahan desa, sebagai konsekuensi dari ketidakjelasan kewenangan dan tanggung jawab yang ada pada masing-masing level pemerintahan baik itu kabupaten, kecamatan, maupun desa itu sendiri.
Beberapa praktek empirik  menunjukkan bahwa kewenangan desa menjadi sangat terbatas karena hampir semuanya sudah diatur oleh pemerintah kabupaten. Dalih otonomi daerah, pemerintah daerah melakukan berbagai kebijakan dan regulasi yang justru semakin mengaburkan dan membatasi kewenangan desa, bahkan tidak jarang kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah daerah justru menjadi beban bagi pemerintah desa.
 Setiap urusan pemerintahan dan keuangan desa dikendalikan oleh regulasi kabupaten, di mana desa hampir-hampir tidak pernah diajak dalam proses pelaksanaan dan perumusan kebijakan meskipun menyangkut masa depannya. Pemerintah cenderung mengatur segenap kehidupan masyarakat desa, meskipun dalam beberapa hal peraturan yang dibuat tersebut sekedar hanya mencerminkan  keinginan pemerintah daerah dan tidak dibuat menurut analisa struktural fungsional karena itu tidak heran bila kerap kali muncul keresahan dan resistensi desa terhadap regulasi dari kabupaten (Eko,2004e).
Tidak adanya kewenangan dan tanggung jawab yang jelas, mana yang menjadi wilayah kewenangan desa dan mana yang menjadi kewenangan kabupaten, menyebabkan banyak kewenangan dan sumber daya ekonomi yang dimiliki oleh desa di kuasai dan diklaim pengelolaannya oleh kabupaten dengan alasan peningkatan pendapatan asli daerah. Secara finansial desa tidak memiliki sumber pendapatan asli yang dapat dikelola dan digunakan untuk membiayaai kegiatan otonominya.
Selama ini pemerintah desa lebih banyak dikenal sebagai bawahan bupati dari pada berdiri sebagai unit pemerintahan yang otonom. Dalam situasi seperti ini peluang desa untuk menjadi entitas sosial-politik yang otonom menjadi sangat sempit. Dengan hal tersebut, maka perlu ada perhatian yang serius untuk membawa desa keluar dari stereotype  yang sudah demikian lekat tersebut. Kedudukan pemerintah desa sebagai bawahan bupati hanya relevan kalau kita melihat persoalan dari kacamata birokrasi atau dari sudut pandang pembelanjaan anggaran tetapi dalam kontek otonomi, desa adalah sebuah entitas yang mandiri dengan hak dan kewenangan yang dimilikinya.        
Era otonomi sebenarnya membuka peluang kearah perwujudan otonomi desa, namun sayangnya semangat desentralisasi secara pragmatis belum dipahami sepenuhnya oleh aparat birokrasi yang ada di daerah. Desa masih dipandang sebagai suatu entitas sosial yang tradisional dan terbelakang, sehingga desa dalam prakteknya masih saja ditempatkan kedalam hierarki struktur pemerintahan paling rendah di bawah kabupaten. Cara pandang seperti ini diperparah dengan adanya sikap aparat birokrasi kabupaten yang cenderung pasif dan kurang responsif dalam menyikapi berbagai tuntutan dan persoalan diseputar otonomi desa. Lemahnya sumber daya manusia yang ada di desa selalu menjadi justifikasi bagi pemerintah kabupaten untuk tidak memberikan ruang bagi berkembangnya otonomi desa.
Suatu hal yang sangat ironis sebab ditengah besarnya harapan pemerintah desa untuk mengelola kewenangan dan tanggung jawabnya secara utuh berdasarkan kebutuhan dan inisiatif lokal dalam membangun desa dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah daerah dengan otonominya justru membatasi dan menjauhkan mereka dari peluang dan harapan tersebut (Dwipayana,2003).
Untuk menyelesaikan berbagai permasalahan terkait dengan otonomi desa bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan adanya pemahaman yang konperhensif dan terstruktur agar penyelesaiannya tidak hanya sebatas permukaan dan parsial. Pada dasarnya substansi masalah otonomi desa terkait dengan format politik dan kebijakan pemerintahan daerah. Dengan hal tersebut, maka sejak pelaksanaan otonomi daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang telah penerapan kebijakan otonomi desa telah diwujudkan melalui penyusunan dan penetapan berbagai peraturan daerah sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa. Saat ini (tahun 2007) telah dibahas 10 Rancangan Peraturan Daerah (RPD) yang disusun menurut PP 72 Tahun 2005 tentang desa sebagai penjabaran dari Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Berbagai peraturan daerah, desa yang ada sebelumnya antara lain mangatur tentang; Susunan Organisasi pemerintahan Desa   (PERDA Nomor 7 tahun 2001), Peraturan Desa (PERDA Nomor 8 tahun 2001),  Pembentukan BPD ( PERDA Nomor 9 tahun 2001), Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Prangkat Desa (PERDA Nomor 10 tahun 2001), Sumber pendapatan Desa  (PERDA Nomor 11 tahun 2001), Kerja sama antar Desa (PERDA Nomor 12 tahun 2001),  Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Desa (PERDA Nomor 13 tahun 2001), Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa (PERDA Nomor 15 tahun 2001),Tata Cara Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa (PERDA Nomor 16 tahun2001), dan Tata Cara Pengangkatan dan pemberhentian kepala desa (PERDA Nomor 17 tahun 2001), tetapi sejauh ketentuan tersebut dilaksanakan dalam hal ini pelaksanaan kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah kabupaten kepada desa dan faktor apa saja yang mempengeruhi efektifitas pelaksanaannya, hal ini yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Oleh karena itu penulis merasa tertarik dan terpanggil untuk mengangkat tema otonomi desa dalam penelitian ini dengan judul;
” Kajian Pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten  Sidenreng Rappang”   
Penelitian ini penting dilakukan mengingat sampai dengan tahun ke-6 pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, terhadap kajian pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang masih sangat jarang dilakukan kalaupun ada hanya masih sebatas wacana atau diskusi dan seminar. Untuk mengetahui secara konkrit sejauhmana pelaksanaan otonomi desa di beberapa desa yang ada dalam wilayah Kabupaten Sidenreng Rappang mutlak diperlukan adanya penelitian dan kajian yang lebih mendalam.
 Rumusan Masalah
         Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah merupakan momentum yang sangat tepat untuk mengaktualisasikan dan memperkuat pelaksanaan otonomi desa. Sayangnya peluang ini belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pemerintah daerah pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang terkesan berjalan lambat. Dengan hal tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang belum berjalan secara efektif sesuai dengan apa yang diharapkan jika ditinjau dari 2 aspek yaitu: pemerintahan desa, keuangan desa dan sehingga ketidakjelasan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah kabupaten terhadap pemerintahan desa yang mengakibatkan pelaksanaan otonomi desa tidak berjalan dengan baik.
1.2 Keaslian penelitian
Untuk memperoleh keaslian dari penelitian ini penyusun melakukan penulusuran kepustakaan terhadap peneliti-peneliti yang di lakukan sebelumnya yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan desa (otonomi desa), hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran dari hasil penelitian sebelumnya sebagai bahan perbandingan dalam menyusun hasil kajian selanjutnya. Berbagai penelitian tersebut antara lain:
Tabel 1.1
Penjelasan Penelitian Terdahulu
No
Nama Peneliti
Judul
Permasalahan
Kesimpulan
1






2








3



















4










5
Edi Dwijono, 2004




Yamin Rahim, 2005













[
Seprianus
Kaminukan
2005

















Jurnal
Susan Fey, Corry Bregendahi, Cornelia Flora
2006






G. Edward Schuh
2004



Peranan badan Perwakilan Desa dalam Melaksanaan Fungsi Legislasi Desa




Implementasi Konsep Otonomi Desa dalam Era Otonomi luas dikabupaten Buol Propinsi Sulawesi Tengah








Pelaksanaan pembangunan berdasarkan pola perencanaan, partisipasi masyarakat Desa dalam mewejudkan konsep Negara Hukum Kesejahteraan di Kecamatan Alor Timur Laut Kab. Alor








The Measurement of Community Capitals through Research :   A Study Conducted for the Claude Worthington Benedum Foundation by north Center Regional Center for Rural Development

Globalization and Rural Development
 -Bagaimana Peranan BPD dalam melaksanakanfungsi Legislasi berdasarkan UU No.22 Tahun 1999
Hambatan apakah yang di hadapi BPD dalm melaksanakan fungsi Legislasi.

 
Apakah konsep Otonomi luas lahan dalam penyelesaian pemerintahan Desa

 Hambatan-hambatan apa saja yang dialami dalam mengimplementasikan Otonomi Desa dalam era ekonomi luas setelah berlakunya UU No.22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No.32 tahun 2004.




Mampukah pelaksanaan Pembangunan dengan pola perencanaan masyarakat Desa dapat mmewujutkan Kesejahteraan Masyarakat
Faktor-faktor apakah yang menyebabkan kendala dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang didasarkan pada pola perencanaan  partisipasi masyarakat Desa
Langkah-langkah apa yang harus ditempuh untuk mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Desa melalui partsipasi masyarakat Desa





Tujuan : melakukan review atas upaya pembangunan ekonomi dan komunitas pedesaan baik domestik maupun luar negeri







Pengembangan pedesaan diera globalisasi dan dampak yang terjadi di pedesaan
Peranan BPD dalam melaksanakan fungsi Legislasi berdasarkan UU No.22 Tahun 1999

Implementasi terhadap konsep Otonomi Desa dalam era Otonomi luas belum terwujud sebagai mana maksud dari UUD 1945.



pelaksanaan pembangunan  pola perencanaan partisipatif di Desa Alor belum berjalan secar efektif, Pemerintah Daerah masih sangat dominan melalui pendekatan Top Down, faktor penyebab adanya tumpang tindih ketentuan tentang mekanisme perencanaan

agar suatu komunitas dapat maju diperlukan adanya kerja sama dengan komunitas lain untuk mengembangkan komunitasnya sendiri

globalisasi mempunyai dampak terhadap masyarakat dan lingkungan yang berpindah dari sektor pertanian ke industri
Sumber: Kumpulan penelitian terdahulu

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
a.       untuk mengevaluasi pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Sidenreng Rappang;
b.      untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Sidenreng Rappang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan gambaran kepada semua pihak khususnya pemerintah daerah dan DPRD dalam menyusun berbagai kebijakan strategi yang terkait dengan pelaksanaan otonomi desa di Kabupaten Sidenreng Rappang.

                               1.4 Sistematika Penulisan

Tesis ini disajikan dalam 4 (empat) bab, yang secara garis besar sistematika penulisannya adalah sebagai berikut : BAB I Pengantar, memuat latar mencakup uraian atau diskusi dan studi empiris serta fakta mengenai pelaksanaan otonomi desa, keaslian penelitian penelusuran terhadap penelitian terdahulu, tujuan dan manfaat penelitian BAB II Tinjauan Pustaka dan, pemahaman teoritis dari landasan teori dan alat analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian dan Alat Analisis. BAB III Cara penelitian mencakup definisi operasionsl variabel yang diamati, data dan cara memperolehnya, aspek penting terkait dengan obyek penelitian dan Hasil Analisis data dan Pembahasan tentang Pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Sidenreng Rappang. BAB IV Kesimpulan dan Saran, yang dapat diambil dan direkomendasikan kepada pemerintah daerah dan pihak yang terkait.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar